Oleh: arenasukijo | Maret 1, 2009

CERMIN PECAH

Oleh: Joemardi Poetra

Genderang pemilwa telah ditabuhkan. Hari yang paling dinanti oleh masing-masing partai politik yang jauh sebelumnya telah melakukan aneka cara untuk meraup suara dari civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah tiba menyapa (26/2).

Sampai tengah malam pun simpatisan maupun kader partai masih setia menunggu hasil penghitungan di masing-masing Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tak jarang, riuh rendah suara mereka (kader dan simpatisan) menghiasi malam yang dingin, lantaran diiringi gerimis hujan mengundang dari sejak sore. Bahkan salah seorang mahasiswi di fakultas Saintek terbaring pingsan di malam hari, (01.30) entah apa penyebabnya. Satpam setempat mengatakan, akibat letih dan lapar.

Tidak hanya itu, pejabat kampus pun ikut sibuk mengikuti ritme perjalanan pemilwa saat ini, mulai dari pembantu rektor bidang kemahasiswaan, pembantu dekan III berserta jajaran lainya, dan tidak ketinggalan satuan pengaman kampus (satpam) juga ikut terlibat menjaga stabilitas pemilwa.

Namun di tengah heroisme memperjuangkan hasrat kemanangan, sangat disayangkan, tersiar kabar buruk tentang kecurangan-kecurangan yang mengiringi hari pemungutan suara tersebut.

Adalah fakta di lapangan pemungutan suara, mahasiswa kebingungan ketika Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) mereka diambil oleh orang yang tidak dikenal dan tanpa tahu untuk digunakan apa, sementara itu, ada beberapa orang yang mencoblos beberapa kali dengan menggunakan KTM yang berbeda, padahal orangnya sama, dan yang lebih ironis lagi, identitas KTM yang berjenis kelamin perempuan justru digunakan oleh laki-laki. (baca: Slilit edisi khusus pemilwa/26/2).

Menurut hemat saya, kejadian di atas adalah satu catatan penting yang perlu digaris bawahi oleh mereka (baca: paprpol) yang sampai saat ini dengan pede-nya menyatakan diri sebagai penjaga gawang demokrasi, bahwa demokrasi sebagai proses pembelajaran untuk berperilaku jujur dan fairplay tidaklah terealisasi dalam makna yang sesungguhnya.

Terkadang saya justru berpikir, ketika niat baik mahasiswa (pemilih) yang tidak mengetahui apa-apa tentang sepak terjang gerakan mahasiswa bagi kebangunan sebuah kepemerintahan yang baik (good geoverment), mencoba menjadi bagian dari pembangunan demokrasi dalam bentuk partisipasi pada hari pencoblosan justru dilecehkan dan dirugikan oleh tindakan-tindakan partai politik yang sangat bertolak belakang dengan intisari dari demokrasi itu sendiri.

Singkat kata, semua demokrasi modern melaksanakan pemilihan, tapi tidak semua pemilihan adalah demokratis (ed_ abdullah alamudi dalam what is democracy,2001)

Di samping itu, ini menandakan, demokrasi yang penulis ibaratkan sebagai sebuah cermin bening untuk menilai siapa kita dan bagaimana mewujudkan politik ke Kita-aan di kampus ini telah gagal untuk dipikir secara serius dan berimbang. Dalam pengertian yang lebih sederhana, KITA adalah sebuah masyarakat yang terdiri dari sosio kultural yang majemuk, dan masyarakat politik yang tidak satu latar ideologi. Bisakah ini menjadi satu basis pembenaran bahwa kita bisa mengakomodir keragaman tersebut, jawabannya sampai saat ini belum ada tanda-tanda yang membahagiakan bagi semua kalangan mahasiswa.

Artinya, cermin bening itu justru pecah berkeping-keping, karena tindakan curang dalam proses pemungutan suara atau bahkan seiring pemilwa ini berjalan tanpa ada hambatan. Inikah demokrasi?, dimana tindakan-tindakan curang dianggap suatu hal yang halal. Di samping itu, akankah pembelajaran yang salah ini bakal menjadi warisan bagi generasi kelak?

Singkat kata, demokrasi tidak selalu indah dan mampu menebar kebahagiaan manakala diurus dengan cara yang sangat tertutup dan tidak dipertangggungjawabkan di depan publik. Kalau hal itu benar-benar terjadi, maka demokrasi hanya menjadi sebuah bejana gosong untuk menampung tangisan-tangisan mereka (mahasiswa) yang merasa dirugikan dan tidak pernah diperhitungkan sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang sama.

“Mas, saya memang memilih presiden, BEM F dan BEM J pada putaran pemilwa kali ini, tapi saya tidak tahu mereka siapa dan ingin berbuat apa untuk kami yang telah memilih mereka, tapi kami menaruh harap pada mereka bahwa ada cerita bahagia untuk seluruh mahasiswa ketika mereka telah memimpin”, begitulah ungkapan salah satu sahabatku ketika bercerita perihal kegundahannya. Menurut saya, bukan hendak menyederhanakan persoalan, tetapi dari kegundahan inilah langkah awal bagi mereka (yang terpilih) untuk berbuat hal-hal yang bermanfaat bagi mahasiswa, tak lebih.[]


Tinggalkan komentar

Kategori